Hari jum’at, minggu pertama aku
masuk sekolah setelah dua minggu (dipotong kegiatan mengunjungi markas angkatan
laut). Hari ini begitu melelahkan mengingat tugas yang menumpuk untuk akhir
pekan. Padahal baru satu minggu memasuki kawasan penuh bahaya(sekolah) tugasnya
sudah bejibun.
Di akhir pelajaran hari Jum’at,
seluruh murid kelas sepuluh dan sebelas mengikuti kegiatan pramuka. Sedangkan
kelas dua belas bimbel untuk bekal menghadapi ujian nasional. Yang membuat
menderitanya itu, aku, yang masih duduk di kelas sepuluh harus mengikuti
kegiatan pramuka. Sumpah..... di sma lain itu jarang banget ditemuin kegiatan
ini. Bukan jarang lagi malahan, kayaknya udah nggak ada. Dan itu membuat semua
murid mengeluh.
Seperti biasanya yang terjadi
ketika berlangsungnya awal-awal pembukaan, kami mengikuti apel. Untung saja
kami melakukan apel bukan di outdoor seperti di lapangan sekolah, melainkan di
aula sekolah. Ya... hitung-hitung gak akan kejemur siang bolong begini.
Apel pun dimulai dengan formasi
biasanya. Pusat apel(yang biasanya berupa pembina upacara dan kawan-kawannya)
berada di tengah-tengah. Di sebelah kanan mereka ada dua kelompok barisan. Yang
paling dekat adalah angkatan kelas sebelas laki-laki, dan disebelahnya adalah
angkatan kelas sepuluh laki-laki. Aku (perempuan angkatan kelas sepuluh) berada
di depan laki-laki seangkatanku dan sebelah barisanku adalah angkatan kelas
sebelas perempuan yang berhadapan juga dengan murid laki-lakinya.
Kami membuat formasi
baris-berbaris sekitar lima belas menit. Cukup lama mengingat formasi
baris-berbaris ini hanya sekedar merapihkan diri, sejajar dengan teman sebelah
kiri kanan dan teman di depan. Tapi yang namanya anak sma, susah sekali buat
diatur. Kami (khususnya para perempuan) mengingnkan teman dekat kami yang
berada di samping kanan atau kiri, berharap dapat diajak mengobrol di
pertengahan apel.
Akhirnya apel pun di laksanakan.
Setelah beberapa menit, pembina membuat kami jengkel dengan permintaanya. Kenyataan
bahwa apel harus diulang dari awal. Itu dikarenakan pembina yang kurang puas
dengan keadaan baris-berbaris kami. Paling sering alasannya berupa kami yang
tak bisa diam. Berisik, banyak gerak, bercanda dan hal yang dimatanya adalah
sebuah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi. Katanya, sedikit pergeseran yang
kami lakukan menimbulkan barisan yang tampak tidak teratur.
Apel pun dimulai kembali. Kami
dituntut untuk berdiri tegak tanpa melakukan pergerakan lain. Tapi itu membuat
badanku pegal-pegal. Rasanya ingin maju mundur, kesamping kanan atau kiri, melirik
ke teman sebelah dan menjahili teman yang ada di sekitar. Jika aku sudah
bertindak usil, biasanya nggak akan ada temanku yang mau deket-deket atau
sekedar terjangkau oleh kaki tanganku. Mereka akan memaksa teman yang lainnya
untuk tukeran posisi. Tapi karena memang sudah terkenal usil, orang yang
dimintai pertukaran tempat pun tidak mau melakukan pergantian tempat.
Waktu dua puluh menit terasa
sangat lambat. Setelah menyelesaikan apel, kami disuruh membuat kreasi-kreasi
sesuai dengan permintaan pembina. Kali ini kami disuruh membuat sebuah bangunan
dari kertas beberapa kertas buram dan kertas tebal yang aku tak tahu apa
namanya. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh setiap kelompok yang diatur sesuai
barisan apel barusan.
“
Kalau bangunannya sudah selesai, baru boleh pulang. “ kata salah satu
pembina.
Setelah berkutat selama
berpuluh-puluh menit, kami menyelesaikansebuah bangunan berbentuk masjid.
Dengan riang gembira kami ke depan aula untuk memberikan hasil karya kami.
“Ini apa?” tanya salah satu pembina.
Dia menggoyang-goyangkan miniatur tak jelas itu sambil menautkan alisnya.
“Itu masjid, bu. Lihat. ini kan
ada kubahnya. Terus ini towernya, bu “ kata salah satu orang perwakilan dari
kami.
Kulihat pembina itu membalikkan
miniatur kami dan memperhatikan bagian bawahnya. Sedetik kemudian, dia
menyodorkannya kepada kami dengan posisi masjidnya yang seudah berdiri tegak.
“ Ini masjidnya harus diperbaiki
lagi. Alasnya kurang kuat. Betulin lagi sana! “ katanya.
Aku menghela nafas panjang lalu
menghembuskannya secara kasar. Inikan masjid bohongan, kenapa harus ada
renovasi segala? Diinjek juga pasti hancur.
Dengan segala kesabaran yang kami
punya, kami pun memperbaikinya. Setelah itu menyerahkannya kembali kepada
pembina.
“ Ini kok gak ada pintunya? Kamu
mau masuk lewat mana? “ tanyanya lagi. “ Betulin lagi sana! “
Kekurangan dana, bu. Jawabku dalam hati. Aku benar-benar jengkel
mendengar kata ‘lagi’ di dalam kalimatnya.
Kami pun menambahkan sebuah
tempelan kertas untuk menyatakan bahwa kertas tersebut adalah batasan sebuah
pintu. Lalu kami menyerahkannya kembali kepada pembinanya.
“ Bu, masjidnya sudah diperbaiki.
Alasnya kuat dan ada pintu masuknya. Dijamin nyaman kalau kita berada di
dalamnya “ kata temanku. Semoga kali ini tak ada kritikan lagi.
Pembina tersebut pun memperhatikan
miniatur masjid itu, lalu menyodorkannya kembali.
“Maksud ibu, lubang pintunya.
Bukan hanya batasan saja “ katanya.
Kami semua pun berbalik arah.
Marah-marah sambil memperbaiki ulang.
“ Cuman beginian doang harus
perfect banget. Mending Kalau bangunan asli dari batu bata gitu, baru boleh
protes “
“ Ngulur-ngulur waktu buat pulang
aja. Udah jam berapa ini? Ah.... elah! “
“ Kalau mau buat aja sendiri,
jangan nyuruh-nyuruh orang kayak begini dong. Capek tau. “
Setelah selesai membuat lubang
untuk pintu yang hampir melebar kemana-mana (tadinya mau disobekin aja
semuanya), kami pun berjalan kearah pembina dan menyodorkannya miniatur lagi.
“ Pintunya kurang rapi. “ katanya
lagi.
Aku pun menyambar miniatur
tersebut dan melipat sobekan tersebut ke arah dalam. Memberikan garis tegas
antara tembok bagian depan masjid dan bagian dalam masjid yang hitam. Membuat
bangunan tersebut seolah-olah memiliki pintu yang dijorokkan kedalam.
“ Udah rapi, bu “ kataku lagi.
Pembina itu pun melihat-lihat kesekelilingnya.
Mungkin mencoba mencari kesalahan.
“ Ya udah. Kalian boleh pulang
sana. “ Seketika itu kami pulang dengan perasaan gondok karena jam waktu pulang
yang tersita oleh kegiatan menyebalkan ini.